Otak, Musik, dan Proses Belajar

OTAK, MUSIK, DAN PROSES BELAJAR

Ratna Supradewi

Fakultas Psikologi  
Universitas Islam Sultan Agung Semarang

Abstrak
Otak yang beratnya kira‐kira tiga pon merupakan organ maha rumit yang sangat berperan penting dalam kehidupan (Wade & Tavris, 2007). Penelitian mengenai otak banyak dikaikan dengan berbagai hal, salah satunya adalah dengan musik dan proses belajar. Beberapa penelitian memanfaatkan musik guna mempengaruhi otak untuk meningkatkan konsentrasi dan proses belajar. Musik berpengaruh kuat pada lingkungan belajar. Penelitian menunjukkan bahwa belajar lebih mudah dan cepat jika pelajar dalam kondisi santai dan reseptif. Detak jantung orang dalam keadaan ini adalah 60 sampai 80 kali per menit.
Dalam keadaan ini otak memasuki gelombang alfa (8‐12 hz), yaitu kondisi otak yang rileks namun waspada sehingga bagian dari otak, yaitu hippocampus dan somatosensory, dapat bekerja dengan optimal. Musik memberikan efek pada elektrofisiologik otak dan telah dilaporkan pada banyak studi. Di Indonesia penelitian yang melibatkan musik dan proses belajar pernah dilakukan, antara lain oleh Taher & Afiatin (2005), juga Tyasrinestu & Kuwato (2004). Tulisan ini akan memberikan gambaran mengenai hubungan otak, musik, dan proses belajar berdasarkan referensi dan penelitian‐penelitian yang dilakukan oleh para peneliti yang mengeksplorasi hal tersebut.

Kata kunci: otak, musik, proses belajar

Belajar adalah suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan‐perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, ketrampilan, nilai, dan sikap (Winkel, 1996). Guna mendapatkan hasil belajar yang maksimal, maka perlu didukung proses belajar yang efektif.
Goleman (dalam De Porter et al., 2001) mengemukakan penelitian yang baru menyebutkan bahwa ada hubungan antara keterlibatan emosi, belajar, dan memori jangka panjang. Tanpa keterlibatan emosi, kegiatan saraf otak kurang dari yang dibutuhkan untuk  ʺmerekatkanʺ  pelajaran dalam ingatan.
Salah satu cara belajar untuk mendapatkan hasil yang optimal adalah dengan quantum learning. Quantum learning merupakan proses belajar yang dirancang bersifat menyenangkan dan menarik (De Porter & Hernacki, 2001). Dengan tekanan positif atau suportif, yang dikenal dengan eustress, otak dapat terlibat secara emosional dan memungkinkan kegiatan saraf maksimal (Csikszentmihalyi, dalam De Porter et al.,2001). Studi‐studi menunjukkan bahwa siswa lebih banyak belajar jika pelajarannya memuaskan, menantang, dan ramah serta mereka mempunyai suara dalam pembuat‐
an keputusan. Dengan kondisi tersebut, para siswa lebih sering ikut serta dalam kegiatan sukarela yang berhubungan dengan bahan pelajaran (Walberg, dalam DePorter et al., 2001).

Secara umum, otak (cerebrum) terdiri dari dua belahan yaitu: hemisfer kanan dan hemisfer kiri yang dihubungkan dengan corpus callosum (Wade & Tavris, 2007; Pinel, 2009; Kalat, 2010). Dalam proses belajar, kedua belahan otak berperan penting.

Menurut Sperry (dalam Wade & Tavris, 2007) hemisfer kanan memiliki kemampuan lebih dalam memecahkan persoalan - persoalan yang menuntut kemampuan visual‐spasial, kemampuan menggunakan peta, atau meniru pola berpakaian, mengenali wajah, dan membaca ekspresi wajah.
Hemisfer kanan aktif ketika seseorang mencoba berkreasi dan memberikan apresiasi terhadap seni dan musik. Secara unik, otak kanan mampu membaca sebuah kata yang ditayangkan secara cepat dan dapat memahami instruksi‐intruksi pelaku eksperimen.

Peneliti lain (Dehaene et al., dalam Wade & Tavris, 2007) juga menghargai hemisfer kanan karena hemisfer ini mempunyai gaya kognitif yang bersifat intuitif dan holistis, berbeda dengan hemisfer kiri
yang cara kerjanya lebih bersifat rasional dan analitis. Namun, perbedaan kedua hemisfer bersifat relatif, tidak absolut.

Dalam aktivitas hidup yang paling nyata, kedua sisi otak ini saling bekerja sama. Masing‐masing memberi kontribusi yang berharga. Sebagai contoh, kemampuan matematika tidak hanya melibatkan area‐area di lobus frontal kiri, namun juga area lobus parietal kiri dan kanan. Lobus parietal kiri diperlukan untuk menghitungjumlah yang pasti dengan menggunakan bahasa (2 kali 5 sama dengan 10). Lobus parietal kanan diperlukan untuk melakukan pembayangan secara visual atau spasial, seperti  ʺgaris angkaʺ  jarak mental, yang menghitung kuantitas atau besarnya jarak (6 lebih dekat ke 9 daripada 2). Proses belajar dalam quantum learning melibatkan banyak hal, antara lain menciptakan lingkungan yang positif, mendukung, dan menggembirakan. Penggunaan pemainan‐permainan dan partisipasi seluruh siswa, serta suasana yang nyaman dari segi penerangan, tempat duduk, pengaturan ruang, hiasan ruangan, serta peran yang tak kalah penting adalah musik (Dryden & Vos, 2000; De Porter & Hernacki, 2001; De Porter et al., 2001; Campbell, 2001).

Suggestology atau suggestopedia merupakan metode pembelajaran yang dikembangkan oleh Georgi Lozanov dari Bulgaria dengan menggunakan musik untuk mempercepat proses belajar dan mendapatkan hasil belajar yang optimum. Musik yang digunakan adalah musik klasik (Campbell, 2001; De Porter et al., 2001; Dryden & Vos, 2000).

Menurut Lozanov, irama, ketukan, dan keharmonisan musik mempengaruhi fisiologi manusia, terutama gelombang otak dan detak jantung, di samping membangkitkan perasaan dan ingatan (De Porter etal., 2001). Lozanov menemukan bahwa musik barok menyelaraskan tubuh dan otak. Musik barok dapat membuka kunci emosional untuk memori super, yaitu sistem limbik otak. Sistem ini tidak hanya mengolah emosi, tetapi juga menghubungkan otak sadar dengan otak bawah sadar (Dryden & Vos, 2000).

Musik berpengaruh kuat pada lingkungan belajar. Penelitian menunjukkan bahwa belajar lebih mudah dan cepat jika pelajar dalam kondisi santai dan reseptif.
Detak jantung orang dalam keadaan ini adalah 60 sampai 80 kali per menit. Kebanyakan musik barok sesuai dengan kondisi detak jantung manusia yang santai dalam kondisi belajar optimal (Schuster & Gritton, dalam De Porter et al., 2001). Dalam keadaan ini otak memasuki gelombang alfa (8‐12 Hz), gelombang otak yang terjadi pada saat seseorang mengalami relaksasi (Pasiak,2007; Mustajib, 2010).
Gelombang alfa merupakan  ʺkewaspadaan yang rileksʺ  (relaxed alertness) atau kadang juga disebut
ʺkesadaran yang rileksʺ  (relaxed awareness) (Dryden & Vos, 2000). Otak pada ritme alfa adalah kondisi otak yang rileks namun waspada, sehingga bagian dari otak, yaitu hippocampus dan somatosensory, dapat bekerja dengan optimal (Ostrander, Ostrander, Schoeder, 2000). (https://jurnal.ugm.ac.id/buletinpsikologi/article/viewFile/11538/8604)

Selanjutnya: Struktur Otak

Related Posts

Post a Comment